Bukit Tangkeban: Wisata Alam Bersejarah di Lereng Gunung Slamet

Bukit Tangkeban: Wisata Alam Bersejarah di Lereng Gunung Slamet

HotelnellaBukit Tangkeban di Pemalang, Jawa Tengah, tidak hanya dikenal sebagai tempat wisata alam yang memukau, tetapi juga menyimpan kisah sejarah panjang sejak masa kolonial. Kawasan seluas 15 hektare ini telah berkembang pesat sejak 2015 dan menjadi destinasi favorit untuk menikmati panorama pegunungan Slamet yang menyejukkan.

Menurut berbagai sumber, Bukit Tangkeban dulunya merupakan bagian dari wilayah konsesi Pemalang Thee Maatschappij, sebuah perusahaan teh milik Belanda yang berdiri pada 1879. Perkebunan teh seluas 200 hektare ini sempat menjadi penyuplai utama teh berkualitas ekspor ke Eropa, hingga masa pendudukan Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan lahan beralih ke PTPN IX, meski luasnya menyusut signifikan akibat program redistribusi tanah. Pada 1980-an, warga Desa Pulosari mulai memanfaatkan lahan yang tidak lagi digunakan sebagai kebun teh untuk bertanam sayuran seperti kubis, wortel, dan kentang, berkat kesuburan tanah vulkanik dari Gunung Slamet.

Transformasi kawasan ini menuju wisata alam dimulai sekitar 2010, saat sekelompok pemuda desa mencetuskan ide agrowisata. Mereka menjadikan bekas pabrik pengolahan teh yang sudah tidak terpakai sebagai spot foto berlatar belakang Gunung Slamet. Inisiatif ini menarik minat wisatawan lokal yang mencari udara segar dan suasana alam asri, dengan suhu rata-rata antara 18–22°C.

Melihat potensi tersebut, Pemerintah Kabupaten Pemalang secara resmi menetapkan Bukit Tangkeban sebagai destinasi wisata melalui Surat Keputusan Bupati No. 556/2015. Sejak itu, pembangunan infrastruktur dasar seperti akses jalan, area parkir, dan fasilitas kuliner dilakukan bertahap untuk mendukung kenyamanan pengunjung.

Kini, Bukit Tangkeban tak hanya menjadi ruang rekreasi, tapi juga simbol kolaborasi antara sejarah, alam, dan semangat masyarakat lokal dalam mengelola potensi desa.

Pengelolaan Bukit Tangkeban: Kolaborasi Warga, Alam, dan Warisan Sejarah

Pengembangan Bukit Tangkeban sebagai destinasi wisata tak lepas dari peran aktif masyarakat setempat. Warga Desa Pulosari membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Lestari Alam yang bertugas mengelola tiket masuk dan menjaga kelestarian kawasan.

Hingga saat ini, sekitar 40% dari vegetasi asli kawasan ini tetap dipertahankan, termasuk pohon teh tua jenis Camellia sinensis var. assamica yang diperkirakan berusia 70 hingga 100 tahun—sisa peninggalan dari masa kejayaan perkebunan teh era kolonial. Sementara area lainnya dimanfaatkan sebagai kebun sayuran dan taman bunga. Tanaman hias seperti bunga kertas dan lavender sengaja ditanam untuk mempercantik lanskap dan menarik wisatawan.

Sistem irigasi lama peninggalan Belanda pun masih dimanfaatkan untuk mengalirkan air dari tujuh sumber mata air alami di kawasan bukit, menunjukkan sinergi antara pelestarian warisan sejarah dan pemanfaatan modern.

Menurut data Dinas Pariwisata Pemalang, jumlah pengunjung Bukit Tangkeban meningkat signifikan, dari sekitar 500 orang per minggu pada 2016 menjadi sekitar 3.000 orang per minggu pada 2023. Puncak kunjungan terjadi pada musim kemarau, antara Juni hingga Agustus, ketika visibilitas Gunung Slamet bisa mencapai 90%.

Dari ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl), pengunjung disuguhi panorama empat kabupaten sekaligus: Pemalang, Tegal, Pekalongan, dan Banyumas. Keindahan inilah yang menjadikan Bukit Tangkeban sebagai tempat favorit bagi wisatawan yang mencari udara segar dan lanskap menawan.

Pengelola memberlakukan sistem tiket bertingkat, mulai dari Rp5.000 hingga Rp15.000 tergantung zona dan fasilitas. Di area bawah, tersedia spot populer seperti rumah pohon dan gardu pandang, sedangkan di zona atas, pengunjung bisa trekking menuju bekas pabrik teh dan mengeksplorasi sumber air panas alami.

Menariknya, sistem keuangan kawasan wisata ini menerapkan prinsip berbagi manfaat. Sebanyak 70% dari pendapatan digunakan untuk pemeliharaan dan operasional, sementara sisanya, 30%, dibagi antara kas desa dan insentif bagi petani pemilik lahan.

Model pengelolaan ini menjadi contoh sukses bagaimana wisata berbasis komunitas dapat berkembang tanpa meninggalkan akar sejarah dan alam yang menopangnya.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *