Kampung Adat Cireundeu: Menjaga Tradisi di Tengah Arus Zaman

Kampung Adat Cireundeu: Menjaga Tradisi di Tengah Arus Zaman

Hotelnella – Terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat, Kampung Adat Cireundeu menjadi salah satu kawasan yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokal di tengah derasnya modernisasi. Kampung ini dihuni oleh sekitar 60 kepala keluarga dengan total penduduk mencapai 800 jiwa, tersebar di wilayah seluas 64 hektare. Dari luas tersebut, 60 hektare dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sementara sisanya digunakan untuk permukiman.

Sebagian besar masyarakat Cireundeu bermata pencaharian sebagai petani ketela pohon (singkong). Ketela ini bukan hanya menjadi sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari identitas budaya mereka. Uniknya, nasi singkong—yang mereka sebut sebagai rasi (beras singkong)—telah menggantikan nasi beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Pilihan ini bukan semata karena ketersediaan bahan, tetapi juga sebagai bentuk pelestarian terhadap warisan leluhur.

Mayoritas warga Cireundeu menganut dan menjalankan kepercayaan Sunda Wiwitan, kepercayaan asli masyarakat Sunda yang sarat dengan nilai spiritual, keselarasan dengan alam, dan penghormatan terhadap leluhur. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, mereka berpegang pada prinsip hidup “Ngindung ka Waktu, Mibapa ka Jaman”, yang berarti mengikuti perkembangan zaman tanpa meninggalkan akar budaya dan tradisi.

Prinsip ini tercermin dalam keseharian warga: mereka tidak menolak kemajuan, tetapi menyikapinya dengan bijaksana, sembari tetap menjaga adat istiadat dan filosofi kehidupan yang diwariskan secara turun-temurun. Segala bentuk tradisi, sekecil apa pun, dianggap penting dan wajib dipertahankan.

Salah satu tradisi yang masih lestari hingga kini adalah peringatan 1 Suro, yang dirayakan dengan cara khas masyarakat adat sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan refleksi spiritual di awal tahun baru Jawa. Peringatan ini tidak hanya bersifat ritual, tetapi juga menjadi momen kebersamaan dan peneguhan identitas budaya.

Rasi: Warisan Kuliner Lokal yang Lahir dari Kesulitan

Peralihan makanan pokok dari beras ke singkong di Kampung Adat Cireundeu bukanlah hal baru. Konon, transisi ini telah dimulai sejak tahun 1918, ketika masyarakat setempat mulai kesulitan mendapatkan beras. Kondisi ini mendorong mereka mencari alternatif pangan yang bisa diandalkan secara berkelanjutan.

Hingga akhirnya, pada 1924, muncul sosok penting dalam sejarah kuliner kampung ini, yaitu Omah Asnamah, seorang tokoh adat perempuan. Ia berhasil menemukan teknik pengolahan singkong menjadi makanan pengganti nasi yang kini dikenal dengan sebutan nasi rasi—singkatan dari “beras singkong”. Inovasi ini tidak hanya menjawab krisis pangan saat itu, tetapi juga melahirkan pangan lokal yang lebih sehat, mengingat kandungan gula dalam singkong jauh lebih rendah dibandingkan beras putih.

Atas jasanya, Omah Asnamah dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Pangan dari Wedana Cimahi pada tahun 1964, sebuah pengakuan atas kontribusinya dalam menjaga ketahanan pangan lokal sekaligus memperkaya budaya masyarakat adat.

Hingga kini, nasi rasi tetap menjadi identitas dan kebanggaan masyarakat Cireundeu. Tradisi ini tidak hanya dipertahankan untuk kebutuhan konsumsi harian, tetapi juga dikenalkan kepada wisatawan sebagai bagian dari edukasi dan pelestarian budaya.

Saat berkunjung ke Kampung Adat Cireundeu, wisatawan akan disambut oleh tulisan hanacaraka khas aksara Jawa yang menandai pintu masuk ke desa adat ini. Nuansa budaya terasa kental sejak langkah pertama, menjadikan kampung ini bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga penjaga warisan nilai dan sejarah yang hidup.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *