Hotelnella – Samarinda, ibu kota Provinsi Kalimantan Timur, dikenal dengan julukan yang indah dan penuh makna: Kota Tepian. Sebutan ini tidak sekadar merujuk pada letak geografisnya yang berada di tepi Sungai Mahakam, namun juga mencerminkan jati diri, cara hidup, dan kebudayaan masyarakatnya yang tumbuh bersama aliran sungai tersebut.
Julukan “tepian” bukanlah istilah geografis semata. Ia adalah filosofi yang telah mengakar dalam keseharian warga Samarinda. Sungai Mahakam bukan hanya membelah kota secara fisik, tetapi juga menjadi urat nadi kehidupan sejak dahulu kala. Di atas arusnya yang tenang dan dalam, terbawa kisah perjuangan, keberagaman, serta perkembangan zaman yang menjadikan Samarinda sebagai kota yang kaya akan dinamika dan nilai budaya.
Sebagai sungai terbesar dan terpanjang di Kalimantan Timur, Mahakam telah lama menjadi pusat aktivitas dan sumber penghidupan. Dari masa sebelum penjajahan hingga era modern, sungai ini menjadi jalur utama transportasi, tempat mencari nafkah, serta pusat interaksi sosial. Di tepian Mahakam, rumah-rumah panggung berdiri rapi, perahu-perahu kayu lalu-lalang membawa hasil bumi, dan pasar terapung menjadi saksi bisu kehidupan masyarakat Samarinda yang begitu lekat dengan air.
Tak heran jika warga Samarinda menyebut Mahakam bukan hanya sebagai sungai, melainkan sebagai jiwa kota—tempat di mana kehidupan bermula dan terus berdenyut. Dari sanalah, makna Kota Tepian menemukan ruhnya: sebuah kota yang tumbuh bersama alam, menyatu dengan air, dan menyimpan sejarah dalam riak-riaknya.
Namun, keistimewaan Samarinda tidak hanya terletak pada kedekatannya dengan Mahakam. Kota ini juga menjadi rumah bagi keberagaman suku dan budaya. Dayak, Banjar, Bugis, Kutai, Jawa, hingga Tionghoa hidup berdampingan dalam harmoni. Setiap etnis membawa nilai dan tradisi unik, yang pada akhirnya melebur dan membentuk identitas kultural Samarinda yang khas.
Samarinda bukan sekadar kota di tepian sungai. Ia adalah kota yang hidup bersama sungai, tumbuh dari keragaman, dan terus bergerak maju tanpa melupakan akarnya. Dalam setiap aliran Mahakam, Samarinda mengalir bersama waktu—menjaga sejarah, merawat budaya, dan menatap masa depan.
Samarinda: Kota Tepian, Jembatan Peradaban dan Harapan

Di Samarinda, kata tepian memiliki makna yang jauh melampaui batas antara air dan daratan. Di kota ini, tepian adalah tempat bertemunya beragam peradaban, budaya, dan sejarah yang melebur dalam denyut kehidupan masyarakat sehari-hari. Di pasar-pasar tradisionalnya, aroma rempah-rempah khas Banjar berpadu dengan masakan Bugis yang menggugah selera, ukiran magis suku Dayak bersanding dengan kesenian Jawa yang menyatu dalam ruang urban yang terus berkembang.
Keragaman budaya ini tidak sekadar hadir dalam keseharian, tetapi dirayakan secara kolektif melalui festival-festival budaya yang menjadikan Samarinda sebagai simbol toleransi dan persaudaraan. Kota ini adalah cerminan miniatur Indonesia, tempat berbagai identitas hidup berdampingan dalam harmoni, dibalut semangat kebersamaan yang lahir dari kehidupan di tepi Sungai Mahakam.
Seiring waktu, wajah Samarinda juga berubah. Modernisasi dan pertumbuhan ekonomi perlahan membentuk kota ini sebagai pusat urban yang dinamis. Namun, kawasan tepian Mahakam tetap dijaga sebagai ruang publik yang hidup—Tepian Mahakam kini menjadi taman kota yang terbuka, tempat warga bersantai, menyaksikan pertunjukan seni, dan menikmati wisata kuliner yang ramai setiap akhir pekan.
Revitalisasi kawasan sungai menjadi langkah nyata dari kesadaran pemerintah kota akan nilai strategis dan simbolik tepian Mahakam. Bukan sekadar penataan fisik, tapi juga cara untuk merawat memori kolektif dan identitas lokal, agar pembangunan tetap berpijak pada kearifan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Dari sinilah Samarinda menegaskan dirinya sebagai Kota Tepian—bukan hanya secara geografis, tetapi juga secara filosofis. Ia hidup berdampingan dengan sungai, menjadikannya bukan batas, melainkan sumber kehidupan, keseimbangan sosial, dan keberlanjutan ekologi.
Lebih jauh, posisi Samarinda kini berada di persimpangan sejarah. Dari kota kecil yang dulunya hanyalah perkampungan nelayan dan pelabuhan sungai, kini ia berkembang menjadi pusat ekonomi utama Kalimantan Timur, serta penyangga strategis bagi Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang tak jauh dari wilayahnya.
Dalam konteks ini, kata tepian mendapat makna baru: ambang perubahan, titik tolak masa depan, dan gerbang menuju transformasi nasional. Kota ini tidak lagi hanya berdiri di pinggir Mahakam, melainkan berada di garis depan pembangunan berkelanjutan Indonesia.
Warga Samarinda pun memikul tanggung jawab moral yang besar: menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian, antara ambisi dan harmoni, antara kemajuan dan akar tradisi. Karena sungai yang telah membesarkan mereka bukan hanya warisan, tetapi juga janji yang harus ditepati untuk generasi berikutnya.
Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa “Kota Tepian” bukan sekadar julukan—melainkan sebuah narasi utuh tentang kota yang menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara keragaman dan persatuan, antara sungai yang tenang dan arus zaman yang terus mengalir.
Samarinda bukan hanya berada di tepi sungai. Ia berdiri di tepian harapan, kebangkitan, dan perubahan. Di tepi Mahakam yang hening namun dalam, kota ini tumbuh anggun—mengalir bersama sejarah, menyongsong masa depan.